21 Juni 2008

Penjara Bagi Petani Kreatif

TEMPO Interaktif, Kediri:Puluhan petani dan aktifis Masyarakat Peduli Petani (MPP) Kediri berunjuk rasa di bawah patung pejuang PETA, Suprijadi di Taman Sekartadji Kediri, Jawa Timur, Minggu (28/8).

Mereka memprotes sikap arogan PT Benih Inti Subur Intani (BISI) Kediri yang telah menuntut hingga pengadilan memvonis hukuman penjara bagi Djumadi, 50 tahun, petani asal Desa Jobong, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Selain Djumadi, lima petani yang lain juga mendapat hukuman atas vonis Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kediri.

Dawud, koordinator MPP menyatakan, aksi yang mereka gelar di dekat Lembaga Pemsyarakatan Kelas II-A Kediri itu dilakukan untuk menyambut berakhirnya masa tahanan Djumadi di Lapas Kediri, Minggu (28/8) pukul 08.00 wib. Aksi itu juga dimaksudkan untuk memprotes keputusan pengadilan yang dianggap tidak adil.

PT BISI dan Pengadilan Negeri (PN)N Kabupaten Kediri, menurut Dawud, sengaja merekayasa ketentuan yang diatur dalam UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman untuk menjerat para petani.
"Bagaimana mungkin petani dipidana dengan tuduhan memalsukan dan menjiplak bibit. UU No 12/1992 sama sekali tidak mengatur soal itu,"kata Dawud.

Sengketa antara petani dengan PT BISI bermula saat PT BISI menunjuk 10 petani sebagai mitra perusahaan untuk melakukan kerja sama selama tahun 1994 hingga 1998. Dalam kurun waktu itu, Tukirin, 53, salah seorang anggota kelompok tani dari Nganjuk berhasil meraih predikat sebagai petani terbaik dan memperoleh hadiah mesin pemipil jagung dari PT BISI. Saat itu Tukirin menanam jagung dengan benih dari PT BISI di areal lahan seluas 2.800 meter persegi.

Setelah masa kerja sama berakhir, Tukirin dengan dibantu empat petani lainnya, yaitu Suprapto, (50) warga Desa Ngronggot, Kecamatan Ngronggot, Nganjuk,
Dawam (55), Slamet (45) dan Kusen (50), ketiganya warga Desa Jobong, Kecamatan Keras, Kabupaten Kediri, berinisiatif membuat pembibitan seperti yang mereka lakukan.

Usaha dan kerja keras berbekal dari pengetahuan yang mereka miliki selama menjadi petani binaan PT BISI akhirnya berhasil membuahkan penemuan bibit jagung varietas baru yang mirip dengan benih yang diproduksi PT BISI.

Kesuksesan itu selanjutnya mereka tindak lanjuti dengan melakukan penjualan bibit mereka kepada sesama petani dengan harga sangat murah. Mereka menjual benih itu dengan harga Rp 4 ribu-6 ribu per kilogram. Bibit dengan harga murah itu langsung tersebar ke para petani lain. Hal itu disebabkan kualitas dan mutu bibit jagung mereka jauh lebih bagus dari benih yang diproduksi PT BISI yang harganya relatif mahal, yaitu Rp 17 ribu per kilogram.

PT BISI menganggap para petani sebagai kompetitor. Dengan tuduhan melanggar UU Sistem Budidaya Tanaman, PT BISI menyeret para petani ke meja hijau dengan dalih metode penangkaran itu telah dipatenkan PT BISI. "Padahal yang dipatenkan hanya varietasnya saja, bukan metodenya,"kata Dawud.

Namun, PN Kabupaten Kediri tetap memutuskan menjatuhkan pidana kepada keenam petani itu dengan tuduhan berbeda-beda. Untuk terdakwa Dawam, Slamet dan Kusen, dijatuhi hukuman percobaan 3 bulan. Sedangkan Djumadi terpaksa mendekam di rumah tahanan selama satu bulan dan bebas setelah mendapat remisi tahunan 3 hari.

Djumadi mendapat hukuman paling berat karena berprofesi sebagai penjual bibit baru kepada para petani. Sedangkan untuk Tukirin dan Suprapto dijatuhi hukuman percobaan satu tahun oleh PN Nganjuk. Selain itu PN Kediri juga melarang keenam petani itu menanam jagung dan melakukan penangkaran bibit jagung lagi. "Dengan vonis dan hukuman itu, berarti hukum telah memasung kretaifitas dan daya inovasi warga negera. Padahal seharusnya negera mendukung proses kemandirian warga negara termasuk para petani,"kata Dawud.

Dwidjo U. Maksum

Dimuat pada : Minggu, 28 Agustus 2005 | 17:33 WIB


Sumber berita:

www.tempointeraktif.com.

www.fajar.com

Berita Investigasi Nasional Fatahillah, Edisi 18, 23 Agustus-04 September 2005.

Seorang Petani Benih Jagung Kediri Dituntut 2 Kali oleh PT. BISI


Pak Suyadi, begitulah petani ini disapa akrab oleh tetangga sekitarnya. Ia seorang petani kecil yang tinggal di desa Pule kec. Kandat kab. Kediri. Ia memiliki seorang istri dan 3 orang anak, yang 2 diantaranya sudah wisuda dari perguruan tinggi di Kediri dan Surabaya, seorang lagi membantunya bekerja di sawah. Pak Suyadi hanya memiliki tanah yang luasnya tidak ada ½ hektar.

Kasus ini berawal dari kreatifitas beliau untuk menyilangkan jagung yang ada di sekitarnya karena petani sering kali menanamnya, berpikir daripada sering beli terus di toko dan harganya mahal, maka berbekal dengan ilmu pengetahuan yang pernah di dapatkan ketika kerja sama pembenihan dengan PT. BISI, mulailah ia bekerja dengan ide kreatifnya.

Di tahun 2005, ia mulai mencoba untuk mengawinkan jagung yang ada dilapangan. Seperti biasanya kalau petani panen jagung ia pasti menjualnya keseluruhan dan hampir tak ada bekas, kemudian untuk tanam berikutnya ia beli lagi. Nah untuk kali ini, dia tidak membelinya tapi hanya sekedar membeli jagung dari temannya sesama petani, ya itung-itung ngirit pengeluaran untuk tanam karena saat itu benih di toko harganya sudah mencapai Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00 per kilogram, namun dia membeli dari temannya sekitar Rp 5.000,00 per kilogram itu pun bayarnya setelah panen.

Dengan jagung hasil pembeliannya ini, beliau mulai menanam jagungnya dengan teknologi tertentu, yaitu 1 baris jagung yang ia anggap jantan dan 4 baris jagung yang ia anggap betina, begitu seterusnya. Setelah jagung mulai berbunga dan bunga sebelum pecah, beliau mencabut bunga jantan pada jagung yang dianggap sebagai jagung betina tadi dan membiarkan bunga jantan pada jagung lainnya. Menurutnya dengan cara seperti itu akan terjadi penyerbukan silang pada jagung yang dianggap betina tadi. Setelah tua dan siap di panen, jagungpun di seleksi, jagung yang tidak dicabut bunganya ia panen duluan dan dipisahkan dengan jagung yang dicabut bunganya tadi. Nah dari jagung hasil silangan tadi, yang dibuat untuk benih dan ditanam kembali adalah biji jagung betina yang dicabut bunganya tadi. Dari percobaan ini, ternyata mampu mempertahankan kualitas jagung, sehingga petani bisa menanam jagung ini berulang kali dengan teknologi seperti ini.

Salah satu budaya petani adalah budaya getok tular (kabar dari mulut ke mulut), ternyata jagung hasil produksi pak Suyadi dengan teknologinya ini tersiar dikalangan petani, tidak hanya tetangga sendiri tapi juga sampai pada petani lain. Dari informasi teman-temannya ini akhirnya pak Suyadi memproduksi benih “ciptaanya” lebih besar dan menjualnya ke sesama petani. Nah, dari ide kreatif pak Suyadi untuk menyilangkan jagungnya dan sekaligus untuk mendapatkan input ekonomi yang agak besar karena harga jagung konsumsi saat itu hanya Rp 800,00 per kilogram, sebuah perusahaan benih multinasional di Kediri yang bergerak di bidang pembenihan untuk sayur, palawija dan obat-obatan dan merupakan anak cabang dari Charoon Pokphand yaitu PT. BISI langsung mengeklaim kalau benih yang dikembangkan pak Suyadi adalah benihnya yaitu BISI-2 dengan merk dagang cap kapal terbang. Di lapang memang benar, benih jagung hasil ujicoba pak Suyadi memiliki tongkol 2 jika ditanam, tapi apakah ini merupakan indikasi bahwa jagung itu mesti milik perusahaan? Padahal jagung bisa bertongkol lebih dari 2 atau bahkan sampai 5 tongkol, ini terkait dengan input yang dipakai petani saja dalam menanam jagung itu? sementara belum ada uji laboratorium dan bahkan uji genesis kalau jagung itu memang benar milik perusahaan.

Tapi, ya namanya petani yang identik dengan keluguannya dan ketidak tahuannya tentang hukum sehingga ia mau saja ketika polisi menggelandang ke kantornya setelah mendapatkan laporan dari bagian lapang perusahaan benih itu. Setelah barang bukti berupa tanaman jagung yang masih kecil sejumlah 4 batang, 2 batang yang dianggap jagung betina dan 2 batang yang dianggap jagung jantan sebagai barang bukti (sebenarnya saat itu jagung masih kecil, dan terlalu dini untuk dijadikan bukti kalau jagung ini akan disilangkan). Namun polisi tetap membawanya dan kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Kediri.

Waktu bersidang pun tiba, saat itu pak Suyadi tidak didampingi oleh pengacara atau siapapun, karena saat itu belum ada informasi tentang kasus ini di media, namun hanya anaknya yang senantiasa menemani dalam proses persidangannya. Akhirnya dalam beberapa kali sidang saja usai sudah persidangan pak Suyadi di Pengadilan Negeri Kediri. Tuduhan yang diajukan oleh jaksa saat itu adalah pemalsuan benih jagung, sertifikasi jagung liar dan meniru metode tanam milik PT. BISI. Padahal pak Suyadi tidak tahu apa itu sertifikasi, niatnya hanya tanam jagung saja tidak untuk sertifikasi, dia juga tidak memalsukan benih jagung karena dia tidak memakai merk BISI-2, dan dia merasa tidak meniru cara tanam milik BISI karena pembenihan jagung memang seperti itu. Kalau memang cara tanam ini sudah dipatenkan oleh BISI, kenapa BISI tidak menuntut Pioner saja karena teknologinya sama persis. Dengan dasar UU no. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, tepatnya bulan Agustus tahun 2005, dalam putusan sidang yang dibacakan hakim saat itu, ia mendapatkan hukuman Penjara 14 hari. Menurut pengakuannya, hal ini di karenakan pak Suyadi mendapat tekanan dari jaksa dan hakim saat itu agar mengakuinya daripada lama-lama dan menambah kesulitan.

Sebenarnya pada saat pak Suyadi masuk ke penjara pada bulan dan tahun yang sama, disana ada juga petani yang di penjarakan oleh PT. BISI yaitu pak Jumidi asal desa Jabang kec. Kras kab. Kediri dengan jeratan yang sama yaitu UU no. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Namun yang membedakan adalah pak Jumidi mendapat hukuman selama 30 hari dengan remisi 3 hari.

Pasca keluar dari penjara, pak Suyadi rupanya tidak kunjung jera juga ia mulai menyilangkan jagung lagi. Dan di awal tahun 2006 ia di tangkap lagi oleh polisi dengan kasus yang sama yaitu menyilangkan jagung secara liar dan di jerat dengan UU no.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Setelah berkasnya masuk ke kejaksaan Kediri, maka ia pun kembali di sidangkan pada bulan Oktober 2006.

Sekali lagi pada sidang yang ke-2 kalinya ini pak Suyadi tidak di dampingi oleh pengacara. Sebenarnya saat itu oleh LSM Kediri Bersama Rakyat (KIBAR) yang saat itu disampaikan langsung oleh penulis, pak Suyadi ditawari untuk didampingi pengacara, namun beliau tidak mau dan bertekat akan menghadapi sendiri persidangannya.

Penulis yang juga anggota Kibar saat itu hanya mendampingi di luar Pengadilan saja karena kita tidak mungkin memaksakan petani korban, dan berupaya untuk menggali dukungan melalui kawan-kawan dan organisasi yang peduli akan kasus petani kecil yang di kriminalkan oleh perusahaan ini. Dukungan support mental dan pressure ke Pengadilan Negeri Kediri dengan menghadirkan petani lain untuk turut serta melihat persidangan di Pengadilan, rupanya cukup memberikan pengaruh yang besar bagi keputusan hasil sidang pak Suyadi. Walau masih diputus bersalah dan mendapatkan hukuman percobaan 6 bulan, ini masih merupakan hasil yang positif, dan terbukti dari keputusan ini kalau dasar hukum yang digunakan oleh jaksa masih lemah. Menurut logika hukum, jika kasus yang sama diulangi kembali oleh terdakwa, maka hukumannya akan menjadi lebih berat..tapi yang terjadi sebaliknya pak Suyadi hanya mendapat percobaan 6 bulan, artinya ini lebih ringan daripada penjara 14 hari.

Menyikapi hal ini Jaksa Penuntut Umum yaitu Suhartatik S.H. M. Hum. tidak tinggal diam, seminggu kemudian ada kabar kalau jaksa naik banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Kabar itu pun sebenarnya tidak diperoleh melaui surat dari Pengadilan Negeri kab. Kediri tapi hanya berupa lisan saja dari Panitera. Setelah 3 minggu kemudian baru ada surat pemberitahuan dari Pengadilan mengenai banding ini.

1 tahun kemudian, bulan November 2007, keputusan hakim Pengadilan Tinggi Surabaya keluar yang isinya keputusannya menguatkan keputusan hakim Pengadilan Negeri kab. Kediri.

Bulan Pebruari 2008, akhirnya secara tidak terduga Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri kab. Kediri mengajukan kasusnya ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dan saat ini berkas pengajuan perkara itu sudah sampai kesana. Kita tunggu kaputusan berikutnya apakah di menangkan oleh petani atau pemodal yang dilindungi oleh hukum..

Banyak petani benih jagung di Kediri dan Nganjuk yang diajukan ke Pengadilan dan dipenjarakan, apakah pemerintah menunggu korban berikutnya lagi?? Lupakah anda bahwa anda tidak akan pernah makan jika tidak ada petani??

Penulis adalah koordinator bidang Advokasi LSM Kediri Bersama Rakyat (KIBAR) Kediri

Kronologi Kasus Jagung BISI Kediri

Budi Purwo Utomo bin S. Soewono

Profil: Budi Purwo Utomo adalah putra seorang pegawai Dinas Pertanian Kab. Kediri. Lahir tahun 1974 dan tinggal di Ds. Turus Kec. Gampengrejo. Pendidikan terakhir Fakultas Hukum Univ. Jember, walaupun ia adalah seorang sarjana hukum tapi ia begitu tertarik sekali dengan dunia pertanian yang akhirnya mengadakan percobaan penanaman bibit jagung yang dibuat sendiri. Budi Purwo Utomo menikah pada tahun 2004 dengan alumni Fak. Ekonomi Univ. Budi Utomo Surabaya yang saat ini istrinya sedang mengandung anaknya yang pertama. Pada saat ini Budi sedang menjalani proses peradilan di Pengadilan Negeri kediri, ia sudah mulai disidangkan sejak tanggal 27 September 2005, dan persidangan Budi ini digelar setiap hari Selasa.

Budi mulai melakukan eksperimentasi pembenihan jagung sekitar tahun 2003 di ladangnya sendiri (ilmu ini didapatnya dari membaca buku tentang pemuliaan tanaman) dan percobaan itu berhasil, kemudian ia coba mengembangkan percobaannya lagi di lahannya yang disewa di daerah Tulungagung dengan penggarap adalah Heru yang diajukan ke pengadilan oleh PT BISI (Saat proses persidangan di Pengadilan Negeri Tulungagung). Ia memberikan benih kepada petani di Jabang Keras Kediri yaitu pak Dawam, pak Kusen, pak Slamet (masing-masing dari beliau mendapatkan hukuman 1.6 tahun percobaan) dan pak Jumidi (penjara selama 1 bulan) selaku penyalur benih, akan membeli hasil panen benih tersebut dengan harga Rp. 1.500 per kilogram gelondong basah.

a. Sejarah Benih dan ciri-cirinya

Sebagaimana Budi ceritakan, benih yang didapatnya itu berasal dari hasil panen biasanya yang diperoleh dari lahan bapaknya yang juga bertani, dan benih ini merupakan hasil keturunan dari benih sebelumnya selama berkali-kali (benih Urakan, begitu menurut istilah penduduk setempat untuk menyebut benih lokal), sehingga benih inipun dari kemurnian varietasnya juga diragukan, mengingat saat tanam di sawah dimungkinkan terjadi proses perkawinan silang dengan jagung jenis lain yang ada disekitarnya.

Dari pengetahuannya yang dipelajarinya dari buku dan pengalaman orang tuanya, Budi memulai bereksperimentasi dari benih yang ada saat panen datang. Kemudian ia mulai menyeleksi jagung hasil panen itu berdasarkan dari ciri buahnya yang ia anggap bervariasi itu, dari hasil seleksi itu, ia menggolongkan ada 2 jenis buah jagung yang menurutnya jika disilangkan akan membuat hasil baru dari penggabungan 2 sifat induknya yaitu bertongkol besar dengan biji pipih besar, berbaris rapat dan berpohon besar kokoh tinggi, berdauan pendek besar erect (berdiri), (kategori ini menurut Budi diasumsikan kategori jenis jagung jantan) dan jenis bertongkol agak kecil dengan biji bulat, berbaris renggang dan berpohon kecil rendah, berdaun kecil panjang melengkung (menurut asumsi Budi ini adalah kategori jagung betina, namun kedua hal itu bisa dibolak-balik sesuai dengan keinginan kita) sehingga dengan menyilangkan kedua jagung itu, menurutnya kedua sifat itu akan bersatu dan menghasilkan campuran keduanya dengan ciri tongkol besar, biji besar, barisan rapat, batang kokoh, daun besar melengkung. Dari hasil yang disilangkan dilahannya sendiri yang berada dirumahnya ia dapat berhasil dan dapat diperolehnya jagung sesuai dengan yang diharapkannya.

b. Cara Eksperimentasi

Benih lokal sebenarnya tidak kalah dengan benih berlabel yang dianggap mempunyai mutu lebih unggul. Hanya karena benih berlabel didatangkan dari luar negeri, citra bahwa benih luar negeri selalu lebih baik dari benih dalam negeri.

Menurut teori yang didapatkan Budi dari buku yang ia peroleh dari perpustakaan, ada beberapa cara pemuliaan tanaman dan teori ini sudah dikembangkan sejak 2 abad yang lalu di Amerika. Adapun teori yang ia peroleh dari buku itu adalah dengan sistem tanam 1 (satu) baris jagung jantan dan 4 (empat) baris jagung betina, begitu seterusnya. Dan ketika nanti jagung berumur 60-65 hari atau masa bunga, jagung betina dalam hal ini 4 baris tadi bunga jantan atau bunga atas dicabut dan jagung jantan, dalam hal ini adalah 1 baris tadi dibiarkan saja. Dalam pengairan dan pemupukan sama perlakuannya dengan biasanya. Dari proses ini dihasilkan jagung campuran dari kedua induk tadi.

c. Dituntut PT BISI

Setelah berhasil dengan percobaan pembenihan jagung di rumahnya, Budi rupanya ingin mengembangkan penemuanya itu menjadi lebih besar, maka ia mulai menyewa lahan di daerah Ngantru Tulungagung untuk mengadakan percobaan Pembenihan jagung, maka disuruhlah Heru, petani asal Tulungagung itu untuk menggarap lahannya, pertimbangannya saat itu adalah karena rumah Budi dan lahan yang terlalu jauh. Saat tanam sampai saat cabut bunga tidak bermasalah sampai akhirnya sebelum jagung itu dipanen dilaporkanlah percobaan pembibitan itu oleh karyawan lapang PT BISI.

Proses persidangan di PN Tulungagung ia jalani selama berbulan-bulan dan petani penggarap itu sebagai saksinya, dari proses peradilan itu Budi divonis bebas dan tidak bersalah. Selama proses peradilan itu pihak dari PT BISI sendiri pernah juga mengerahkan satu Bis preman untuk mengintimidasi pihak pengadilan dan PH Budi yang saat itu didampingi oleh tim LKPH (Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum) Universitas Muhammadiyah Malang. Tuduhan yang dialamatkan pada Budi dari PT BISI adalah sertifikasi tanpa ijin, pemalsuan merk dan cara tanam yang menjiplak (meniru) milik PT BISI (padahal itu ada di buku).

Setelah masa peradilan di PN Tulungagung selesai, namun tidak berhenti sampai disitu saja, karena meliputi 2 wilayah hukum yaitu di kabupaten Kediri (rumah Budi) dan kab. Tulungagung (tempat dimana Budi mananam jagungnya), maka setelah lolos dari sana Budi harus menghadapii proses peradilan di PN kabupaten Kediri.

Sebelum proses persidangan digelar, dalam penantian proses persidangan selama beberapa bulan, Budi dikenakan wajib lapor setiap Kamis di Kejaksaan Negeri Kediri. Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 27 September 2005 Budi bersidang untuk yang pertama kalinya di Pengadilan Negeri Kediri. Sampai saat ini proses peradilan Budi hampir mendekati pada proses putusan. Selama itu pula dari kasus yang dialami oleh Budi mendatangkan banyak simpati dari berbagai kalangan, terutama yang bergerak dalam bidang kemanusiaan atau sosial serta kalangan mahasiswa dan petani. Pernah pula bersamaan dengan hari tani tanggal 27 September 2005 (yang sebenarnya hari Tani jatuh pada tanggal 24 September) para elemen yang ada di Kediri yang terdiri dari para petani, LSM dan Mahasiswa menggelar aksi untuk menyuarakan aspirasi mereka di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kediri yang berkenaan dengan hal-hal yang mereka alami saat ini, berbagai kasus yang menimpa petani termasuk kasus penuntutan oleh PT BISI (Benih Inti Subur Intani) Kediri terhadap para petani, setelah dari DPRD mereka bergerak ke Pengadilan Negeri Kabupaten kediri untuk memberikan dukungan atas persidangan Budi (yang saat itu bertepatan dengan hari persidangan kasus ini).

Dukungan dan simpati terus bermunculan dari LSM yang peduli petani, para petani sendiri dari berbagai wilayah di Kediri baik kota atau kabupaten, serta tidak lupa dukungan dari elemen mahasiswa tetap solid, mereka terus menyuarakan tuntutannya di DPRD kab. Kediri, dalam beberapa kali sidang pun mereka mendatangi secara beramai-ramai Pengadilan Negeri kab. Kediri, bahkan waktu mendekati putusan pengadilan mereka semakin inten untuk mendatangi lembaga Peradilan ini. Tidak hanya berhenti disini mereka mengajukan ide yaitu penggalangan tanda tangan walau secara personal kepada individu se-Indonesia yang dimotori oleh KIBAR.

Menjelang detik-detik putusan pengadilan mereka semakin merapatkan barisan dan aktif menggelar aksi di Pengadilan Negeri kab. Kediri untuk memberikan dukungan moral, bahkan saat itu sampai Budi pun ikut ber-orasi di depan pintu Pengadilan, sehingga ini semakin membuat gelombang massa tambah bergolak, ujung-ujungnya massa yang kebanyakan adalah petani masuk ke dalam ruang persidangan sambil membawa poster yang berisi “JANGAN KRIMINALKAN PETANI”, STOP PENANGKAPAN TERHADAP PETANI”, “JANGAN BUNUH KREATIFITAS PETANI”, “PETANI ADALAH PAHLAWAN PANGAN” dan banyak poster lainnya, mereka menunjukkan itu ke arah Hakim. Walau massa makin tak terkendali tapi saat itu tidak ada tindakan anarkis, mereka sangat tertib dalam barisan, dan masuk ke ruang sidang tanpa menimbulkan suara yang bisa mengganggu proses persidangan. Akhirnya persidangan ditutup lagi oleh Suharto selaku hakim ketua, padahal persidangan baru saja dibuka. Dan meskipun saat itu tidak ada kepastian kapan akan di putuskan perkaranya, rupanya walau berselang sekitar 1 minggu, ternyata ini tidak menyurutkan niat kawan-kawan petani untuk mendatangi lagi Pengadilan Negeri. Dengan tetap solid mereka berorasi didepan di pelataran Pengadilan Negeri Kediri, pertimbangan saat itu adalah massa tidak mau mengganggu pihak lain yang sedang bersidang. Dengan tetap dalam kawalan ketat pihak kepolisian Polres kediri, mereka masuk lagi kedalam ruang persidangan dengan tertib, tanpa mengganggu proses sidang, tanpa ada tindakan anarkis, dengan tetap membawa poster yang dibentangkan di dalam ruang sidang. Namun saat itu persidangan tetap di teruskan. Keputusan yang di terima Budi saat itu adalah di nyatakan bersalah dan di hukum 1 tahun percobaan.

Dengan semangat yang ada, Budi menyatakan bahwa dia akan naik banding ke Pengadilan Tinggi karena dengan kasus yang sama, di Pengadilan Negeri kab. Tulungagung dia di putus bebas tapi di Kediri di putus bersalah.

1 tahun kemudian putusan dari Pengadilan Tinggi Surabaya turun dan isi dari putusan itu adalah menguatkan putusan Pengadilan Negeri kab. Kediri. Dengan tidak pernah putus asa dia mengajukan lagi kasusnya sampai tingkat Mahkamah Agung Republik Indonesia, kini keputusan itu belum jelas.

Kita tunggu saja kejelasannya dengan tetap berjuang untuk melawan ketidak adilan di bumi Indonesia ini. Kalau selamanya petani tidak boleh kreatif apakah kita akan jadi buruh di negeri sendiri..??? pangkal dari semua ini adalah karena pemerintah melindungi kepentingan negara-negara investor, dengan menerbitkan UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU tentang Perlindungan Varietas Tanaman. UU tentang Hak Paten. Maka UU ini harus segera di revisi agar berpihak kepada petani. Apakah pemerintah akan menunggu korban-korban lain untuk merevisi UU ini? Apakah pemerintah masih menjadikan petani sebagai “Tumbal” untuk melindungi kepentingan pemodal?

Kemudian, melihat realita yang seperti ini, hal konkrit apa yang akan kita lakukan untuk memberikan dukungan pada petani......?????

Penulis adalah koordinator bidang Advokasi LSM Kediri bersama Rakyat (KIBAR) Kediri


Kronologis Kasus Petani Benih Jagung Vs BISI


Profil

Djumidi Bin Karsomin (56)

Adalah seorang perangkat desa kaur Pembangunan asal desa Jabang Kras kab. Kediri dan Ketua kelompok Tani HIPPA. Ia dituduh menyalurkan benih dan sertifikasi tanpa izin. Di jerat dengan UU no. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

Kronologi

  • Pak Djumidi diajak oleh Pak Budi untuk bekerja sama memasarkan benih yang diproduksinya. Ia diminta untuk memberikan benih secara cuma-cuma kepada petani dan hasilnya dibeli seharga Rp. 1.500,- per kilogram.
  • Jagung itu di berikan kepada Dawam, Kusen dan Slamet tetangganya untuk ditanam dan nanti akan dibeli lagi.
  • Pada Bulan April ia didatangi oleh 3 orang; 2 dari pihak Kepolisian dan 1 dari PT. BISI. Kedatangan tamu-tamu tersebut sekaligus sebagai panggilan pemeriksaan yang disampaikan secara lisan dan tidak ada bukti tertuli
  • Selama Bulan Mei 2005 Pak Djumidi menjalani pemeriksaan bersama dengan ketiga temannya (Kusen, Slamet, dan Dawam) di Polres Pare kab. Kediri Jawa Timur.
  • Dalam perjalanan kasusnya, Jaksa penuntut umum yang bernama PUJIASTUTININGTYAS, SH, Jaksa Pratama, NIP. 230021025, sempat meminta uang 2 juta kepada Pak Djumidi dengan jaminan bebas. Saat itu Jaksa datang dengan dengan seorang lelaki sekitar pukul 22.00 dan meminta Pak Djumidi menyerahkan uang jaminan di pengadilan sebelum pukul 06.00 keesokan harinya dengan tanpa ada kwitansi ditemani seorang saksi bernama Dawam (tutur pak Jumidi saat itu).
  • Dalam proses persidangannya pak Jumidi tidak didampingi oleh Pengacara atau siapapun. Dan dia di jerat dengan UU no. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yaitu pelarangan pengedaran benih tanpa label.
  • Pada tanggal 1 Agustus 2005, Bu Djumidi mengantarkan suaminya ke Kejaksaan dan kemudian ikut mengantarkannya ke Lembaga Pemasyarakatan Kediri. Dia dijebloskan ke penjara selama sebulan dengan remisi 2 hari, sehingga tinggal 28 hari..

Penulis adalah koordinator bidang Advokasi LSM Kediri Bersama Rakyat (KIBAR) Kediri


13 Juni 2008

Renungkan

Aku dilahirkan oleh ibuku 27 tahun lalu tepatnya pada tahun 1981, di sebuah kota kecil di Jawa Timur yaitu Kediri. Rumah tempat aku lahir sekarang di huni oleh nenekku, ibuku, pak Lik dan bu Lik serta adikku. Aku di lahirkan sebagai anak pertama dengan seorang adik laki-laki. Namun ayahku tergolong tidak tanggung jawab, ia meninggalkan ibu-ku sendirian ketika adikku masih dalam kandungan berusia 7 bulan dan saat itu ketika umurku masih 4 tahun.
Sejak kecil aku terbiasa dengan hidup tidak mampu dan apa adanya. Dulu, nenekku punya sawah yang luas dan kebun yang luas pula sehingga waktu itu, aku masih teringat kalau nenekku tidak pernah membeli beras di toko-toko ataupun di pasar, bahkan sayur-sayuran pun bisa dicukupi sendiri, waktu itu hanya gula, garam, bawang merah dan putih saja yang beli tapi lainnya tidak. Tiap kali nenek panen hasil sawah, maka dapat dipastikan kalau rumah bagian belakang penuh dengan padi, jagung, ketela, pisang dan hasil panen lainnya. Nenek punya lahan yang luas bukan berarti dia membeli dan tuan tanah tapi ia mendapatkan warisan yang banyak dari mendiang kakek buyutku. Seiring dengan jalannya waktu, lahan persawahan dan perkebunan yang di miliki oleh nenekku itu mulai dibagikan kepada adik-adiknya walau mereka bukanlah saudara kandung tapi hanya saudara tiri, anak yang di miliki oleh istri kakek buyutku tapi bukan anaknya kandung melainkan anak dari suami yang lalu. Sawah dan kebun yang berhektar-hektar itu mulai di bagikan, ujung-ujungnya nenekku hanya mendapatkan sebidang sawah kecil yang oleh nenekku coba ditanami dengan sayur, dan itu pun sekarang diambil oleh adiknya lagi. Nenekku tidak punya apa-apa lagi kecuali hanya sebidang tanah yang sekarang di huni oleh saudaraku itu.
Untuk menyambung hidup nenekku tetap kerja disawah dengan menyewa lahan yang ditanami sayur dan ibu hanya sebagai buruh tani di desaku, di lahan pertanian yang hampir musnah itu.
Ironisnya lahan persawahan yang dibagi-bagikan oleh nenekku untuk adik-adiknya tadi mestinya untuk menanam padi dan palawija itu, justru tanah itu di jual semua oleh mereka. sawah dan kebun itu kini ditanami batu, semen dan bata untuk perumahan. Sekarang ketika musim panen tiba dulu aku sering ke sawah untuk bantu angkut panenan kini itu sekarang tinggal kenangan indah saja...semua sudah sirna, lahan sawah dan kebun yang hijau itu kini menjadi panas dan kering...sungai yang dulu mengalir sangat jernih dimana aku dulu sering mandi disana ketika pulang dari sawah, kini air itu mengalir hitam kecoklatan, sampah ada dimana-mana, keruh, bau, kotor dan gatal bila kena kulit..sawah yang hijau itu kini sudah nyaris tiada lagi di kotaku karena keganasan pemerintah yang memberikan kebijakan kepada investor untuk dijadikan perumahan bagi orang kaya.
Tak tahukah kamu bahwa kami menderita karena kebijakanmu..
Tak sadarkah kamu bahwa apa yang kamu makan itu adalah hasil jerih payah nenekku...
Kami petani yang tidak pernah di hargai dan di perhatikan...
Dimana hatimu hai "Penguasa"..????